MANJOU MULAK MATA MUAL adalah ritus adat Batak Toba untuk ‘mohon pulang mata air’, yang sudah hilang. Air adalah suatu realitas primordial, dan mempunyai peran penting. Simbolismenya menyangkut setiap tahap kehidupan.
Mitos-mitos kuno dan ilmu modern sependapat manakala mereka melihat air sebagai asal usul kehidupan, cairan ketuban yang mempertahankan embrio evolusi evolusi dan pertumbuhan.
Sebagai pangkal utama segala materi organis, air mutlak perlu bagi eksistensi semua makhluk yang hidup, manusia, hewan dan tanaman.
Maka membuka pemukiman (huta), lahan pertanian (terutama sawah) dan ladang selalu terlebih dahulu mencari mata air (mata mual, sumber ari).
Menurut kepercayaan orang Batak Toba zaman dahulu, hilangnya mata mual disembabkan oleh pelanggaran tabu (yang kotor (wanita bersalin) memasuki mata mual (bersih, suci); perusakan alam (terutama hutan) karena mengambil tanpa batas atau membakarnya; dan rusaknya tatanan hidup bersama (harmoni) karena pertengkaran, perselisihan, pencurian atau pembunuhan.
Kemudian hari oleh ilmu modern diketahui hilangnya mata mual karena pergeseran lapisan tanah yang mengakibatkan mata mula mengalir ke tempat lain, mengingat bahwa Tanah Batak ada dalam jalur gunung api atau daerah vulkan.
Namun, untuk orang zaman dahulu, hal ini dibasakan dengan mata mual ‘martabuni’ (menyembunyikan diri) karena terganggu harmonisasi, yang suci (air) tidak mau bersatu dengan yang kotor (kehidupan sosial dan alam).
Untuk memulihkan harmoni, orang Batak Toba mempunyai kearifan lokal (local wisdom), yaitu Ritus Manjou Mulak Mata Mual (Mohon Pulang Mata Air). Isinya: mengakui kesalahan, mohon pengampunan, dan memulihkan kembali apa yang sudah rusak.
Memulihkan harmoni kembali dengan Sang Pencipta, leluhur, alam semesta/ bentang alam, sesama manusia (sistem kekerabatan dan sistem sosial), dan makhluk lain yang terlihat dan tidak terlihat yang diyakini punya roh. (Mirip Sakramen Tobat? Maka tidak benar orang Batak Toba tidak mengenal pengakuan bersalah. Di sini nampak pengakuan salah dan mohon pengampunan.)
Salah satu contoh Ritus Manjou Mulak Mata Mual terjadi di pinggang Gunung Pusuk Buhit Samosir, pada 05 Juli 2021 yang lalu.
Komunitas Rumah Hela, yang didirikan dan diasuh oleh Bapak Hinca Panjaitan melaksanakan ritus ini terdorong oleh keprihatinan akan hilangnya mata mual di kaki Pusuk Buhit.
Ritus dilaksanakan memohon agar mata air yang sudah hilang muncul kembali.
Mereka berdoa (martonggo), berterimaksih kepada Sang Pencipta atas kesejahteraan (hamoraon, hagabeon, hasangapon), mempersembahkan hasil bumi, berjanji memperbaiki alam dengan menanam pohon di pinggang Pusuk Buhit air tersedia, dan memakan bersama hasil persembahan itu sebagai makanan berkat (sipir ni tondi).
Aksi nyata, Kelompok Rumah Hela telah menanam pohon sebanyak 2000 batang, dari berbagai jenis termasuk tanaman endemic (khas Tanah Batak) seperti bintatar, andaliman, tadatada, dll.
Agar pohon ini terjamin pertumbuhannya, ada 4 orang menjaganya dan telah dilatih di Dinas Kehutanan. Keyakinan mereka adalah ‘tak ada hutan, maka tak ada air’.
(Penitensi?). Ritus menjamin kelestarian lingkungan sebab bahan-bahan ritus diambil dari lingkungan hidup manusia.
Langkah kecil dan semoga berkelanjutan. Horas.
Pastor Herman Nainggolan, OFMCap.
Comments